00. Selagi kita sedang menggoreskan sejarah pergerakan kaum muda, ya diri sendiri ya kelompok, kita yang berada dalam “campuran” perasaan --- ya “minder” dan sakaligus “pédé”, ya “antusias” dan sekaligus “pesimistik”, ya “merasa tidak berarti” dan sekaligus “sombong menuntut perhatian”, dst. --- perlu menyadari bahwa kita ini sedang dalam situasi IST, “In Service Training” (= latihan melalui praktek pelayanan langsung). Setelah periode IST kita lewati ...waoo...faktual kita menemukan diri telah diperkaya oleh pengalaman-pengalaman hidup, yang sering disebut juga mempunyai “nilai plus”.
Kaum muda yang pernah aktif melalu OrMas, seperti PMKRI, Pemuda Katolik, kelompok-kelompok seperti Mudika, KSM, atau gerakan rohani seperti Legio Mariae, dlsb. ketika memasuki “bursa kerja”...waoo...diam-diam diminati dan dipromosikan secara cepat. Pokoknya berbeda dengan mereka-mereka yang lulus murni secara akademis, tetapi nol dalam soal pengalaman berorganisasi. Karena itu marilah kita hidupi periode pertumbuhan-perkembangan kita sebagai suatu kesempatan IST, yang tidak pernah terulang.
Untuknyalah setiap kaum muda sejak dini perlu menyadari atau disadarkan akan pentingnya memiliki kompetensi, yang bukan saja bersifat intelektualistis-teoritis, tetapi komplit-plit termasuk ketrampilan atau skills dengan sikap dan perilaku hidup yang positif. Ketiganya, kita padukan dalam singkatan KSA, yaitu: pengetahuan,(“Knowledge”), ketrampilan atau kecakapan (“Skills”) dan sikap atau perilaku hidup yang positif (“Attitude”). Ketika Panitia Porseni & Humaniora menawarkan beragam kegiatan fisik, ada yang memberi komentar, “Yah, kagiatan Gerejani koq diisi dengan memasak nasi gorèng. Itu mah, terlalu materialistis. Tidak cocok dengan hakekat mengGereja yang bercorak rohani!” Kritiknya boleh diterima, tetapi pencapaian sasaran bina yang multi nilai, mestilah kita simpan dalam hati, direnungkan, dan lebih-lebih dipraktekkan, sebagaimana mengGereja sendiri dapat dijabarkan melalui kriprah kerugmatis (> segi-segi ajaran iman), liturgis (> segi-segi liturgis), koinonis (> segi-segi persaudaraan dan kebersamaan) dan diakonis (> segi-segi pelayanan). Eh, siapa tahu bukan titel sarjana yang menyelamatkan hidup kita ini, tetapi ketrampilan memasak, seperti 20 menit mempergunakan ketrampilan dan siap menyajikan nasi gorèng, dan mungkin....menjualnya melalui “warteg”. Hahahaaaaa.......!
Salah satu unsur kompetensi, yaitu ketrampilan, atau kita sebut sebagai ketrampilan hidup, terwujud dalam berbagai dimensi berikut: